KORUPSI!!!!!! "PEMBUNUH" #1 di INDONESIA ayo Lawan,Awasi dan Laporkan demi Indonesia yang lebih baik.......

Pages

5 Apr 2010

Julia Perez dan Kenyataan Moral Kita

Majunya artis cantik dan seksi Yuli Rahmawati alias Julia Perez a.k.a Jupe sebagai calon bupati dalam Pilbup Pacitan 2010 menuai pro-kontra. Pelantun tembang multitafsir berjudul “Belah Duren” ini diusung delapan parpol yang mengatasnamakan Amanat Persatuan rakyat (Ampera), yakni Partai Hanura, PAN, Gerindra, PBB, Partai Patriot, PDP, PKPB, dan PKPI.
Masalah muncul setelah DPP PAN tidak merestui rencana DPP PAN Pacitan untuk mengusung Jupe. Alasannya, khawatir citra partai rusak. “Hal ini bisa merusak nama baik PAN sebagai partai reformis yang juga bernapaskan religius” begitu katanya. PAN tidak diperkenankan untuk memunculkan wacana mencalonkan artis berkonotasi negatif. Dan seterusnya…
Beberapa kalangan menilai, pencalonan artis dalam Pilkada hanyalah akal-akalan parpol saja untuk meningkatkan popularitas, meraih suara dan memuluskan fulus yang jadi motivasinya. Hal itu juga menandakan parpol tidak memiliki kader yang andal dan layak jual. Begitu seterusnya…



Menanggapi hal ini, saya menyatakan apresiasi saya setinggi-tingginya atas itikad baik dan keberanian Julia Perez maju mencalonkan diri menjadi bupati Pacitan, yang notabene bukanlah daerah asalnya. Hak Jupe untuk memilih dan dipilih menjadi pemimpin suatu daerah dijamin Undang-Undang. Begitu pula persyaratan formil dan materiil sudah dipenuhi. Maka tak ada satu oknumpun yang berhak menghalang-halangi niatannya.
Jupe mengaku siap dan serius terjun ke dunia politik. Ia juga mengaku belum tahu banyak tentang Pacitan, namun sudah banyak belajar dan bertanya tentang kemajuan dan apa yang dibutuhkan masyarakat Pacitan.
Saya rasa, yang berhak menerima gugatan sesungguhnya adalah PAN sendiri. PAN sama sekali tidak punya hak untuk mengalamatkan “artis berkonotasi negatif” pada Jupe. Hak PAN untuk mendiskreditkan seseorang tidak dijamin Undang-Undang. Lagipula, “konotasi negatif” ini patut dipertanyakan. Seperti apa gerangan makhluk-konotasi-negatif ini? Mengapa Jupe dipaksa menyandang gelar itu?
Kemungkinan terbesar lantaran sepak terjang Jupe dalam dunia entertainment yang kerap mengumbar sensualitas hingga membuat muka laki-laki merah padam. Tapi toh, bukankah Jupe hanyalah satu sekrup kecil dari satu kendaraan besar bernama peradaban metropop dengan segala atribut dan aplikasinya, yang sebetulnya –jika kita tidak munafik- sama-sama kita setujui. Kita menyerah tanpa syarat pada peradaban hedonisme dan kehilangan daya dan pengetahuan untuk mengidentifikasi nilai-nilai yang baik dan yang buruk, hingga kita mencampuradukkan perkara Belah Duren, Pilgub Pacitan, dan moralitas. Moralitas, makhluk macam apa pula itu? Apakah oknum yang menolak Jupe memiliki landasan moralitas yang lebih baik? Saya skeptis: benarkah mereka yang menolak pencalonan Jupe, benar-benar ‘menolak’ lahir-batin?
Pada dasarnya, mengkambinghitamkan moralitas ternyata jauh lebih gampang ketimbang kita mengidentifikasi moralitas itu sendiri. Apalagi yang bersemayam di diri kita sendiri. Maka dari itu ijinkan saya mendongengkan satu kisah ini. Tapi sebelum itu, cerita ini samasekali tidak berasosiasi dengan moralitas Julia Perez –yang saya tak punya pengetahuan sedikitpun tentangnya. Ini hanyalah sedikit satire:
Alkisah, di suatu kota akan diadakan pemilihan umum. Dua calon muncul, yakni Pak Mafia Narkoba dan Pak Bandar Judi. Kontan, warga yang tak mau kotanya dipimpin oleh orang-orang ‘tidak baik’ tersebut mencak-mencak. Satu-satunya ‘orang baik’ yang tersisa adalah Pak Haji yang sudah tua. Maka wargapun menyerbu rumahnya untuk mendesak Pak Haji agar mau bertarung melawan dua orang jahat tersebut dalam Pemilu. Namun alih-alih setuju, Pak Haji dengan segala kerendahan hatinya malah mengatakan, “Saya ini tidak pantas memimpin kota ini. Saya miskin ilmu dan miskin iman. Saya takut tidak amanah,” demikian. Desakan demi desakan warga tak bisa membuat Pak Haji mengubah niat. Hingga pada akhinya Pemilu berlangsung dan terpilihlah Pak Mafia Narkoba sebagai walikota dan Pak Bandar Judi sebagai wakilnya. Begitulah, kota tersebutpun akhirnya dipimpin dua orang “tidak baik”.
Namun jangan Anda langsung mengasosiasikan dua tokoh tersebut dengan sosok Jupe. Sebab sebenarnya, cerita ini mengandung sindiran kepada tokoh Pak Haji yang kufur nikmat. Ia sebetulnya mempunyai kemampuan, diberi nikamt oleh Allah. Namun kemampuan itu tidak memberi manfaat apa-apa bagi semua orang lantaran sikap tawaddu-nya yang luar biasa. Maka, jangan salahkan siapa-siapa jika kemudian kota tersebut dipimpin penjahat yang menyelenggarakan sistem penjahat, hukum penjahat, pengupayaan sumber keuangan kota secara jahat, dengan pendidikan kejahatan bagi warganya, tak terkecuali Pak Haji sendiri. Maka jadilah kota tersebut menjadi kota penjahat.
Dalam konteks Julia Perez di dunia nyata, dia bukanlah mafia, bandar judi, ataupun penjahat. Dia hanya warganegara biasa. Malah dia jauh-jauh merasa terpanggil untuk memimpin daerah yang jauh dari tempat asalnya. Di sini berlaku satu nilai, bahwa tak ada seorangpun yang berhak melabeli Jupe dengan label-label sepihak itu, apalagi dia belum pasti terpilih menjadi bupati dan belum pasti pula buruk kepemimpinannya.
Maka, dadu saya gulirkan kepada semua pihak, siapapun, terutama yang merasa keberatan, silakan maju bertarung melawan Jupe. Siapapun, entah itu politisi, agamawan, ulama, pastor, seniman, akademika, cendekiawan, atau siapapun kader asli Pacitan atau luar Pacitan yang merasa diri lebih baik, lebih suci, lebih berkonotasi positif, lebih bermoral, lebih bisa memimpin diri sendiri dan orang lain, silahkan. Ini negara demokrasi, biar masyarakat Pacitan sendiri yang menilai dan memilih.
Dan jika masyarakat Pacitan salah memilih, maka mereka tidak pantas menyalahkan siapa-siapa lagi. Tanda Tanya sebesar lapangan sepakbola pantas dianugerahkan pada mereka. Namun, yang namanya ‘kesalahan pemilihan’ itu tidak serta merta menunjuk pada Jupe, tapi bisa pada siapa saja. Malah mungkin sekali kesalahan terjadi ketika masyarakat memilih tokoh-berkonotasi-positif yang ketika terpilih dan berkuasa justru koruptif dan tidak bisa apa-apa. Kita ini hidup dalam dunia kemungkinan, dimana kemungkinan baik-buruknya seseorang tidak bisa dinilai dari apa yang tampak oleh mata kita, dari prasangka dan intrepretasi kita, serta dari apa yang dilabelkan orang banyak pada dia. Terlebih, sebelum menjudge moralitas Jupe –yang sebetulnya tak seorangpun yang tahu persis tentangnya-, sudahkah pihak-pihak yang keberatan dengan pencalonannya mengenali moralitasnya sendiri-sendiri?
Mengenang PAN, saya jadi terkenang Sutrisno Bachir. Oi Oi Oi!

Manusiayangmerdeka.wordpress.com


Artikel Terkait



0 komentar:

 
Powered by Blogger