KORUPSI!!!!!! "PEMBUNUH" #1 di INDONESIA ayo Lawan,Awasi dan Laporkan demi Indonesia yang lebih baik.......

Pages

15 Jun 2010

Belajar dari Pemilu 1999

JAKARTA-Usulan masuknya orang partai politik menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), mengingatkan kembali pada memori masa lalu. Pemilu 1999 nyaris  tak bisa ditetapkan hasilnya jika saja Presiden BJ Habibie tidak turun tangan.

 
Pada 4 April 1999, Melalui Keppres No 92/1999, Presiden BJ Habibie menetapkan seluruh hasil penghitungan suara, pemilihan umum 1999 untuk DPR, DPRD I dan DPRD II secara nasional. Langkah ini terpaksa diambil Habibie lantaran KPU saat itu tak kunjung menetapkan hasil Pemilu.

KPU yang diisi orang-orang partai politik ketika itu gagal menetapkan hasil pemungutan suara tepat waktu, karena terjebak oleh kepentingan masing-masing. Mereka tak bisa melepaskan kepentingannya antara sebagai peserta Pemilu dan penyelenggarara Pemilu.

Keterlibatan orang partai politik sebagai penyelenggara Pemilu dipandang bertentangan dengan pasal 22E ayat 5 UUD 1945. Pasal itu menyebutkan Pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

Pakar ilmu pemerintahan IPDN, Djohermansyah Djohan menyebut kata mandiri bisa diartikan sebagai independen dan tidak partisan, tidak memihak kemana pun dan kepada siapa pun. Karena bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, maka orang Parpol tidak bisa menjadi penyelenggara Pemilu.

Sulit dikatakan mereka bisa netral ketika partai sebagai peserta Pemilu sekaligus sebagai penyelenggara. Potensi kebuntuan hasil Pemilu seperti Pemilu 1999 sangat terbuka jika orang partai politik diperbolehkan menjadi anggota penyelenggara Pemilu.

Belum lagi kemungkinan munculnya intervensi parpol terhadap Pemilu, gesekan antarparpol yang berimbas pada penyelenggaraan Pemilu juga tak bisa dielakkan.

Kalau toh pada akhirnya Cara  mereka mundur dari Parpol ketika terpilih menjadi penyelenggara Pemilu, warna kepartaian tetap tak bisa dihilangkan begitu saja.  Sifat partisannya masih ada, sehingga kemungkinan mereka membawa kepentingan politik ketika menjadi penyelenggara Pemilu.

Publik Tanah Air tentu tak ingin peristiwa Pemilu 1999 itu terulang kembali. Karena itu, usulan masuknya orang partai politik menjadi penyelenggara Pemilu perlu dipertimbangkan secara bijak. Partai politik di DPR yang kini tengah membahas draf revisi UU No 22/2007 tentang Penyelengaraan Pemilu tidak menggunakan kekuasaannya untuk mengabulkan usulan itu.

DPR memang belum memutuskan boleh atau tidaknya orang partai menjadi penyelenggara Pemilu. Tetapi, reaksi keberatan publik dan potensi kegagalan pengesahan hasil Pemilu seperti pada 1999 setidaknya bisa menjadi bahan pembelajaran dan pertimbangan mereka.


Sumber: Rakyat Merdeka

Artikel Terkait



0 komentar:

 
Powered by Blogger