KORUPSI!!!!!! "PEMBUNUH" #1 di INDONESIA ayo Lawan,Awasi dan Laporkan demi Indonesia yang lebih baik.......

Pages

3 Jun 2010

Mengenal Suku Anak Dalam



Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatra selatan. Mereka mayoritas hidup di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.
Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang melarikan diri ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan Suku Minangkabau seperti sistem matrilineal




Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas sumatra). Mereka hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.


Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan.

Tokoh Yang Dekat Dengan Suku Anak Dalam

Melakoni berbagai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, ternyata harus diimbangi dengan kemauan dan cita-cita agar berguna bagi orang lain. Jangan mati sebelum berbuat untuk orang lain, semua  orang  bisa  melakukannya termasuk kaum perempuan.



"Gak keren kalau mati tidak ada yang mengenang," kata Butet Manurung, tokoh perempuan yang hidup bersama orang rimba di provinsi Jambi selama 12 tahun dan seorang penggagas berdirinya Sekolah bagi suku pedalaman dengan sebutan Sokola.
Perempuan yang hobi melakukan perjalanan di alam bebas ini, hadir di kampus USU Senin lalu mengusung  kegiatan tor diskusi pendidikan alternatif. Dalam perbincangan dengannya, banyak sekali  hal-hal menarik yang pantas dicermati, terutama falsafah hidupnya tentang meninggalkan nama setelah mati.



Bagaimana ia sempat memikirkan hal itu ?
Butet mengatakan, ketika selesai kuliah antropologi, dia termasuk perempuan yang ingin mengetahui banyak hal termasuk persoalan kehidupan. Kegiatannya sebagai pendaki gunung, membuat dia terhentak saat bertemu dengan seniornya di puncak Jaya Wijaya yang berhasil mendamaikan suku anak dalam yang terlibat konflik.
Dari sana, kata Butet, diapun berambisi ingin melakukan kegiatan yang sama. Artinya, dia terinspirasi untuk berbuat sesuatu kepada orang lain. Dalam perjalanan hidupnya, mendaki gunung dan menghadapi rintangan alam sekalipun  harus  mengeluarkan biaya. Mengapa dana ini tidak ia optimalkan untuk kepentingan orang lain. Akhirnya tahun 1999, dia melangkahkan kakinya ke Hutan Bukit Dua Belas sebuah kawasan bermukimnya suku anak dalam di provinsi Jambi.  Kedatangannya di tempat itu ternyata mewujudkan impiannya sebagai perempuan yang bertekad menjadi orang yang berguna semasa hidup.
Di sanalah akhirnya Butet menjadi seorang guru bagi suku anak dalam dengan menawarkan cara membaca menulis dan menghitung.  Sekolah yang dia buat bagi suku rimba memenuhi berbagai rintangan dan tantangan yang luar biasa,tetapi tekad  yang  kuat akhirnya membuat Butet terus berfikir  bagaimana  cara menemukan teknik yang cocok untuk memperkenalkan menulis membaca dan berhitung kepada orang rimba.
Dengan tekad yang kuat dan bertahan dalam rimba dengan segala rintangannya, akhirnya Butet berhasil mewujudkan impiannya. Suku anak dalam itu bukan saja mengerti menulis membaca dan berhitung, tetapi secara perlahan mereka sudah mulai aktif dalam kegiatan lain. Misalkan ikut serta di dunia seni, mereka,sambung Butet sudah ada yang membuat filem dokumenter. Di samping itu, persoalan hukum dan ham telah dikuasai oleh masyarakat.
"Dulu, saat pohon mereka akan ditebang oleh perambah hutan, penduduk hanya mengingatkan agar pohon jangan ditebang. Tapi sekarang,mereka sudah melakukan pelarangan penebangan pohon dengan membacakan pasal-pasal pelanggaran hukum yang dilakukan serta hukuman yang akan didapatkan jika melakukan penebangan. "Cepat sekali perkembangan mereka, cerdas dan mampu  menguasai ilmu yang diajarkan," kata Butet.

Butet adalah sosok yang ulet, dari obsesinya mencerdaskan suku anak dalam di Jambi, akhirnya berdiri pendidikan alternatif bagi komunitas suku pedalaman dengan sebutan Sekola.
Saat ini Sekolah Rimba juga ada di Aceh, Makassar, Flores dan di Kajang,Halmahera dan Pigang Bekor.

"Tetap saja, pemikiran membentuk kurikulum dan metode yang dijalankan oleh Sekola diawali dari pengalaman merintisnya di Jambi," kata Butet.

Artikel Terkait



0 komentar:

 
Powered by Blogger