KORUPSI!!!!!! "PEMBUNUH" #1 di INDONESIA ayo Lawan,Awasi dan Laporkan demi Indonesia yang lebih baik.......

Pages

15 Jun 2010

Cara Mengatasi Korupsi dengan Syariat Islam

“SAYEMBARA“ pemilihan ketua KPK mulai digelar dan berakhir Senin (14 Juni). Lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia ini mencari sosok pemimpin yang cocok setelah ditinggalkan oleh Antazari Azhar. Puluhan orang sudah mendaftarkan diri, terdapat di antaranya sejumlah pengacara, mantan pejabat tinggi Polri, birokrasi dan lain-lain.


Namun, belakangan seleksi ini menimbulkan kontroversi. Beberapa pihak mencium bau tak sedap dalam proses seleksinya. Di antaranya dirasakan oleh Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana. Ia mencium adanya kepentingan politik dari kekuatan politik tertentu di dalam pemilihan Ketua KPK.
Denny mengatakan besar kemungkinan ada nama yang dititipkan oleh kekuatan politik tersebut untuk menjadi ketua KPK . (infosketsa.com, Juni 2010)
Sedangkan menurut Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, proses seleksi sudah sesuai dengan mekanisme yang ada. Hanya saja, ia menambahkan ada beberapa faktor yang menjadikan beberapa orang yang dianggapnya berkualitas enggan mencalonkan diri sebagai komisioner di KPK disebabkan ada kekhawatiran bahwa menjadi anggota atau pimpinan KPK akan dikriminalisasikan. (inilah.com 08/06/10).
Tak bisa di pungkiri, tindak pidana korupsi di Indonesia merupakan penyakit klasik yang tidak kunjung terobati. Meskipun upaya-upaya pemberantasannya sudah di lakukan dengan berbagai cara, namun pada faktanya korupsi di Indonesia malah semakin menggurita.
Harapan besar masyarakat Indonesia sebenarnya ditujukan pada KPK. Dalam perjalanannya, KPK cukup mampu memberikan angin segar terhadap pemberantasan korupsi, paling tidak terbukti dengan terungkapnya beberapa kasus korupsi. Namun seiring berjalannya waktu, bertubi-tubi lembaga ini dihajar oleh berbagai persoalan.
Setelah kasus Antazari Azhar, giliran kemudian pimpinan KPK lain, yakni Bibit-Chandra yang kesandung masalah. Banyak pihak menganggap hal ini adalah upaya pelemahan terhadap KPK.
Di sisi lain, tidak semua lapisan masyarakat mampu dijangkau oleh KPK. Padahal kasus korupsi hampir terjadi di semua lapisan. Bahkan menurut survei PERC tahun 2010 (Political & Economic Risk Consultancy), Indonesia dinobatkan menjadi negara paling korup se Asia-Pasifik. Dalam riset global barometer 2009 oleh Tranparancy International (TI) korupsi tertinggi adalah di parlemen dengan skor 4,4. Kemudian perngkat kedua institusi peradilan skornya 4,1, sementara itu parpol bertengger di urutan ketiga (4,0), pegawai public (4,0), disusul sektor bisnis (3,2).
Bagaimanapun, lembaga sekelas KPK tentunya tidak akan mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat dalam memberantas korupsi. Hanya sedikit yang mampu terungkap ke permukaan, itupun dalam pelaksanaannya selama ini bisa dibilang masih tebang pilih, ada beberapa pihak yang masih kebal terhadap penyidikan KPK.
Lembaga ini memang hanya berfungsi sebagai pemburu dan penangkap koruptor. Pelaku korupsi yang tertangkap hanya sebagian yang kemudian dipidanakan atau paling banter cuma divonis dengan sanksi yang sangat ringan oleh lembaga peradilan. Bahkan banyak pelaku korupsi kelas kakap yang sekarang ini masih bebas berkeliaran di luar negeri. Sistem pencegahan (preventif) dan sistem efek jera pun juga tidak berjalan secara efektif. Padahal ini adalah faktor penting dalam memberantas korupsi.
Sebenarnya lembaga-lembaga semacam ini sudah sering dibentuk walaupun mungkin sekadar formalitas dan tidak leluasanya kewenangan hukum yang dimiliki. Pada tahun 1970 saat Soeharto menjabat sebagai kepala negara pernah ada lembaga yang namanya “komisi empat”, bertugas memberikan langkah-langkah strategis dan taktis kepada pemerintah. Pada tahun yang sama juga terbentuk KAK (Komisi Anti Korupsi) yang digawangi oleh para aktivis mahasiswa di era itu. Di antaranya Akbar Tandjung, Asmara Nababan cs. Sampai muncullah KPK untuk pertama kalinya di masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri.
Alhasil, korupsi di negeri ini masih saja menggurita, disebabkan korupsi ini adalah korupsi yang sistematis. Namun, seringkali solusi yang ditawarkan cuma dengan kelembagaan. Seharusnya penyelesainya secara sistematis.
Karena itu, untuk menuju Indonesia yang lebih bersih haruslah dengan syariah Islam. Dalam sistem Islam, salah satu pilar penting dalam mencegah korupsi ialah ditempuh dengan menggunakan sistem pengawasan yang bagus. Pertama pengawasan yang dilakukan oleh individu. Kedua, pengawasan dari kelompok, dan ketiga, pengawasan oleh negara. Dengan sistem pengawasan ekstra ketat seperti ini tentu akan membuat peluang terjadinya korupsi menjadi semakin kecil, karena sangat sedikit ruang untuk melakukan korupsi.
Spirit ruhiah yang sangat kental ketika menjalankan hukum-hukum Islam, berdampak pada menggairahnya budaya amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat.
Diberlakukannya juga seperangkat hukuman pidana yang keras, hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku. Sistem sanksi yang berupa ta’zir bertindak sebagai penebus dosa (al-jawabir), sehingga mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh sistem yang diterapkan sekarang.
Negara khilafah Islamiyah juga sangat memperhatikan kesejahteraan para pegawainya dengan cara menerapkan sistem penggajian yang layak. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa pun yang menjadi pegawai kami hendaklah mengambil seorang istri, jika tidak memiliki pelayan , hendaklah mengambil seorang pelayan, jika tidak mempunyai tempat tinggal hendaknya mengambil rumah." (HR. Abu Dawud).
Dengan terpenuhinya segala kebutuhan mereka, tentunya hal ini akan cukup menekan terjadinya tindakan korupsi.Kemudian, untuk menghindari membengkaknya harta kekayaan para pegawai, sistem Islam juga melakukan penghitungan harta kekayaan. Pada masa kekhilafahan Umar Bin khatab, hal ini rutin dilakukan. Beliau selalu menghitung harta kekayaan para pegawainya seperti para Gubenur dan Amil.
Sedangkan dalam upayanya untuk menghindari terjadinya kasus suap dalam berbagai modusnya, sistem Islam melarang pejabat negara atau pegawai untuk menerima hadiah. Bisa kita lihat, pada masa sekarang ini banyak di antara pejabat/pegawai, ketika mereka melaporkan harta kekayaanya, kemudian banyak ditemukan harta yang tidak wajar, mereka menggunakan dalih mendapatkan hibah. Kasus seperti ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam.
Dalam Islam, status pejabat maupun pegawai adalah ajir (pekerja), sedangkan majikannya (Musta’jir) adalah negara yang diwakili oleh khalifah atau kepala negara maupun penguasa selain khalifah, seperti gubenur serta orang-orang yang di beri otoritas oleh mereka. Hak-hak dan kewajiban di antara Ajir dan Musta’jir diatur dengan akad ijarah.
Pendapatan yang di terima Ajir diluar gaji, salah satunya adalah yang berupa hadiah adalah perolehan yang diharamkan. Pilar lain dalam upaya pencegahan korupsi dalam Islam adalah dengan keteladanan pemimpin. Bisa diambilkan contoh, khalifah Umar Bin abdul aziz pernah memberikan teladan yang sangat baik sekali bagi kita ketika beliau menutup hidungnya saat membagi-bagikan minyak wangi karena khawatir akan mencium sesuatu yang bukan haknya. Beliau juga pernah mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya pada saat menerima anaknya. Hal ini dilakukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan negara.
Tampaknya hal ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi di negeri ini, ketika rakyatnya banyak yang lagi kesusahan, mereka malah enjoy dengan mobil mewah terbarunya, serta fasilitas-fasilitas yang lain. Itulah strategi Islam dalam pemberantasan korupsi, ini memang harus diterapkan secara menyeluruh, tidak sebagian-bagian demi sempurnanya kemaslahatan yang diinginkan. Karenanya, bersegeralah Indonesia untuk menerapkan Islam secara kaffah.


Sumber: Media Indonesia

Artikel Terkait



0 komentar:

 
Powered by Blogger